“ Kurcaci
itu gak ada ” itulah yang selalu diucapkan teman-temanku di sekolah
seraya menghina dan
mencemoohku. Namaku Shinta dan aku sudah duduk di bangku SMP kelas 2. Memang aneh bagiku untuk percaya hal-hal yang berkaitan dengan
dongeng. Apalagi aku ini sudah SMP kelas 2, kurcaci jelas-jelas bukanlah hal yang nyata dan tak
pantas untuk dipercayai. Dan
aku mulai berusaha melupakan yang namanya kurcaci ataupun hal-hal lain yang berkaitan dengan dongeng.
Tapi
semua pemikiranku itu
berubah ketika aku pergi ke desa di rumah kakekku di
daerah Wates Pasuruan Jawa Timur. Hari itu aku jalan-jalan
sendirian karena disana tidak ada anak yang berumuran sebaya
denganku. Aku pergi ke sebuah sungai di desa itu, air yang langsung dari gunung
itu mengalir menciprat
kakiku dan terasa sangat sejuk, kemudian aku melanjutkan perjalananku ke sebuah taman
yang dipenuhi bunga, setelah aku mengelilingi
taman tersebut aku beristirahat dan berteduh dari panasnya siang hari di bawah
pohon besar dekat taman tersebut, entah karena kesal atau
kelelahan aku pun tertidur di bawah bohon besar tersebut.
Seketika
bangun dari tidur aku sangat terkejut melihat sesosok manusia kerdil atau yang biasa disebut kurcaci
di dunia dongeng yang memiliki tinggi badan hanya seukuran pinggangku dan
memiliki jenggot tebal, seperti Santa Claus dengan mengenakan pakaian berwarna kuning yang terbuat dari dedaunan yang sudah kering.
Aku terkejut, aku
pikir ini hanyalah mimpi,
namun setelah aku tampar wajahku aku bahkan
merasa kesakitan, aku sadar ini bukanlah mimpi. Tak hanya dengan munculnya kurcaci itu,
aku juga dikejutkan dengan bunga-bunga yang ada di sekitarku yang mendadak berubah menjadi pohon-pohon lebat yang di bawahnya terdapat
rumah-rumah kurcaci yang dilengkapi pintu dan jendela seperti yang dikisahkan
dalam sebuah dongeng.
“ Hei…
ada apa ini?” tanyaku
kebingungan kepada kurcaci itu.
“ Loh...kamu kok bisa melihatku?” tanya kurcaci itu keheranan.
“ Memang tak ada yang bisa melihatmu?” tanyaku balik dengan menatap tajam tubuh kurcaci itu.
“ Tentu saja… aku ini kurcaci yang tidak bisa dilihat oleh para manusia biasa,” jawabnya.
“ Loh...kamu kok bisa melihatku?” tanya kurcaci itu keheranan.
“ Memang tak ada yang bisa melihatmu?” tanyaku balik dengan menatap tajam tubuh kurcaci itu.
“ Tentu saja… aku ini kurcaci yang tidak bisa dilihat oleh para manusia biasa,” jawabnya.
Aku
menelan ludahku seperti tak percaya dengan apa yang aku lihat ini. Setelah itu kurcaci itu menjelaskan semua yang terjadi.
Aku
dapat melihat kurcaci-kurcaci itu karena memang diriku memiliki rasa percaya dengan kurcaci yang amat berlebih
sehingga aku dapat melihat mereka.
Lalu kami pun bermain bersama mereka sepanjang hari, aku paling suka bermain dengan Mimin yang merupakan
anak perempuan dari kurcaci yang aku temui tadi, kami sangat suka bermain di
sekitar sungai yang dekat dengan taman tempat rumah-rumah kurcaci.
“ Ih… kamu jangan iseng deh!” teriak Mimin sambil
mengerutkan dahinya.
“ Gak apa-apa Min, kurcaci kan juga perlu mandi,” ledekku sambil mencipratinya air.
“ Gak apa-apa Min, kurcaci kan juga perlu mandi,” ledekku sambil mencipratinya air.
Kami
bermain hingga sore hari dan saat itu tiba juga untukku pulang. Tapi aku tidak bisa pulang karena aku tidak
tahu arah untuk pulang, sebab taman-taman yang aku lewati tadi sudah berubah
menjadi pepohonan yang lebat.
“ Min, kamu bisa tunjukin cara agar aku bisa
kembali gak?” tanyaku.
“ Bisa, caranya kamu harus pergi ke pohon yang itu dan kamu harus membaca mantra ini (Tulo teneng tale Tulcaci) kamu harus membacanya tiga kali, dan kemudian kamu akan kembali lagi seperti semula,” jelas Mimin sambil menunjuk ke arah pohon yang dimaksud.
“ Bisa, caranya kamu harus pergi ke pohon yang itu dan kamu harus membaca mantra ini (Tulo teneng tale Tulcaci) kamu harus membacanya tiga kali, dan kemudian kamu akan kembali lagi seperti semula,” jelas Mimin sambil menunjuk ke arah pohon yang dimaksud.
“ Ya udah sambil
ke sana kita cerita aja yang lain yuk!” ajakku.
“ Maaf ya Rino, sebenarnya ini terakhir kali kita bisa ketemu. Bangsa kurcaci saat ini akan punah, dan menunjukkan cara untuk kamu bisa pulang adalah hal terakhir yang bisa aku lakukan. Setelah kamu pulang, aku dan keluargaku tidak akan pernah kembali lagi,” ujar Mimin.
“ Berarti? Kita… pisah?” tanyaku.
“ Yap… selamat tinggal Shinta… kita tidak bisa ketemu lagi… aku sayang kamu,” ucap kurcaci itu sambil meneteskan air mata.
“ Maaf ya Rino, sebenarnya ini terakhir kali kita bisa ketemu. Bangsa kurcaci saat ini akan punah, dan menunjukkan cara untuk kamu bisa pulang adalah hal terakhir yang bisa aku lakukan. Setelah kamu pulang, aku dan keluargaku tidak akan pernah kembali lagi,” ujar Mimin.
“ Berarti? Kita… pisah?” tanyaku.
“ Yap… selamat tinggal Shinta… kita tidak bisa ketemu lagi… aku sayang kamu,” ucap kurcaci itu sambil meneteskan air mata.
Setelah
ucapan Mimin aku pun pergi ke pohon yang dikatakannya tadi dan aku pun mulai membaca
mantra yang dikatannya tadi, Tepat setelah aku membaca mantra itu tiga kali,
tubuhku mengeluarkan cahaya dan aku telah melihat tidak ada satupun
kurcaci-kurcaci tadi, pohon-pohon yang lebat tadi berubah menjadi hamparan
tanah taman yang penuh bunga. Aku pun tidak sempat mengucapkan kata kata
perpisahan kepada Miminbeserta keluarganya dan aku sudah tak bisa melihatnya
lagi.
Saat
itu tubuhku menjadi lemas dan terduduk lesu karena pertemuan yang indah ini
harus berakhir dengan singkat.
“ Tuhan… padahal baru
saja aku mempercayainya,”
ucapku sambil tetesan air mata yang mulai mengalir di pipiku.
No comments:
Post a Comment